Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Di tahun 2009, dimana Hollywood dikuasai oleh film-film science fiction orisinal seperti Avatar serta District 9, J. J. Abrams mampu mencuri banyak perhatian penikmat film dunia ketika dirinya kembali menghadirkan sebuah franchise legendaris bernama Star Trek dengan sentuhan yang baru. Meski awalnya banyak mendapatkan keraguan, khususnya dari para penggemar setia franchise tersebut – yang biasa menyebut diri mereka sebagai Trekkies, dengan bermodalkan naskah cerita arahan Roberto Orci dan Alex Kurtzman yang sangat cerdas, Abrams mampu menghadirkan sebuah presentasi kisah Star Trek yang cukup segar dan modern untuk dapat meraih banyak penggemar baru namun tetap terasa sangat familiar untuk dapat memuaskan para penggemar lamanya. Kesuksesan tersebut jelas telah membuka pintu kesempatan yang sangat lebar bagi Abrams untuk dapat menjelajah lebih jauh dalam menangani seri lanjutan franchise film yang telah dimulai semenjak tahun 1979 tersebut. Jika Star Trek akan membawa para penontonnya kepada awal kisah petualangan dua sahabat, Captain James T. Kirk dan Commander Spock, dalam mengarungi angkasa luas bersama dengan para pengisi kapal luar angkasa Enterprise lainnya seperti Dr. Leonard McCoy, Pavel Chekov, Hikatu Sulu, Nyota Uhura dan Montgomery Scott, maka Star Trek Into Darkness sepertinya berusaha untuk lebih mendalami kembali hubungan persahabatan yang terjalin antara dua sahabat yang berasal dari dua planet yang berbeda tersebut – tentu saja dengan tambahan plot kisah yang akan memberikan kesempatan bagi film ini untuk menghadirkan deretan adegan aksi seperti yang telah disajikan di seri sebelumnya. Mendapatkan tambahan tenaga pemikiran dari Damon Lindelof (Prometheus, 2012) di jajaran penulis naskahnya, Star Trek Into Darkness sayangnya hadir dengan jalinan kisah yang terlalu sederhana untuk disajikan dalam durasi sepanjang 133 menit yang membuat banyak bagian film ini terasa bertele-tele dan datar dalam penceritaannya. Star Trek Into Darkness memulai perjalanan kisahnya dengan menceritakan mengenai Captain James T. Kirk (Chris Pine) yang mendapatkan penurunan jabatan setelah dirinya melanggar salah satu aturan Starfleet – walaupun hal tersebut dilakukannya demi untuk menyelamatkan salah satu kru pesawat luar angkasa Enterprise yang ia pimpin. Kejadian tersebut secara perlahan lantas membuat hubungan persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock (Zachary Quinto) menjadi renggang. Dengan kondisi hati dan pemikiran yang berjalan bimbang, Captain Kirk sekali lagi mendapatkan peringatan dari mentornya, Rear Admiral Christopher Pike (Bruce Greenwood), mengenai bagaimana tingkah lakunya sebagai seorang pemimpin yang terkadang tidak sesuai untuk diaplikasan dalam keseharian masa tugasnya. Namun, penurunan posisi jabatan bukanlah satu-satunya masalah besar yang akan dihadapi oleh Captain Kirk. Salah seorang pegawai Starfleet, John Harrison (Benedict Cumberbatch), ternyata melakukan pengkhianatan terhadap organisasi tersebut dan merancang sebuah tindakan bom bunuh diri kepada fasilitas rahasia Starfleet di London, Inggris. Sialnya, tindakan bom bunuh diri tersebut ternyata hanyalah sebuah awal dari rencana John Harrison – yang kini telah melarikan diri ke Kerajaan Klingon – untuk menghancurkan Starfleet. Dengan kondisi organisasi yang berantakan, Captain Kirk kemudian mendapatkan kembali jabatannya untuk memimpin Enterprise. Dan bersama dengan Commander Spock serta deretan kru yang ia percayai – plus seorang petugas baru yang mampu mencuri perhatiannya, Dr. Carol Marcus (Alice Eve), Captain Kirk memulai misi Enterprise untuk mengejar dan menangkap John Harrison. Terlepas dari usaha J. J. Abrams untuk menghadirkan sebuah penceritaan yang menyajikan lebih banyak deretan adegan aksi jika dibandingkan dengan seri sebelumnya, Star Trek Into Darkness pada dasarnya adalah sebuah jalinan cerita yang memaparkan lebih dalam tentang persahabatan antara Captain Kirk dengan Commander Spock – suatu hal yang membuat banyak karakter pendukung lainnya terpaksa harus “disingkirkan” dengan hanya mendapatkan porsi penceritaan yang minimalis. Bukan sebuah masalah besar, khususnya ketika Star Trek Into Darkness mampu mewarnai kisah persahabatan tersebut dengan gambaran mengenai sikap kepemimpinan serta pengorbanan yang dilakukan kedua karakter tersebut dalam mempertahankan serta membela sosok sahabat mereka. Sayangnya, di sisi lainnya, fokus yang terasa sedikit berlebihan terhadap kisah persahabatan Captain Kirk dan Commander Spock sepertinya membuat Abrams gagal untuk dapat mengembangkan berbagai plot penceritaan lain yang dihadirkan dalam film ini. Seperti yang telah diungkapkan sebelumnya, kehadiran kisah persahabatan antara Captain Kirk dan Commander Spock dalam porsi penceritaan yang lebih luas membuat keberadaan banyak plot cerita pendukung yang berada di sekitar Star Trek Into Darkness menjadi kurang begitu esensial kehadirannya – termasuk dengan plot kisah mengenai serangan yang dilakukan oleh karakter John Harrison terhadap Starfleet. Bagian ini sepertinya hanya dihadirkan untuk memastikan keberadaan deretan adegan aksi dalam jalan cerita film ini. Karenanya, sebuah kisah pengejaran yang dilakukan oleh kru Enterprise terhadap karakter John Harrison akhirnya berlangsung panjang dengan beberapa kejutan hadir di beberapa persimpangan ceritanya. Abrams mampu menggarap sisi aksi dari plot penceritaan tersebut dengan baik. Namun porsi kisah yang terlampau familiar namun diperpanjang sedemikian rupa membuat Star Trek Into Darkness seringkali terkesan bertele-tele, melelahkan dan hadir tanpa poin penceritaan yang berarti. Chris Pine dan Zachary Quinto sendiri sepertinya telah mampu melepaskan bayang-bayang para pemeran karakter Captain Kirk dan Commander Spock dari seri terdahulu franchise ini. Baik Pine dan Quinto berhasil menghidupkan karakternya dengan baik serta, yang paling penting, terlihat begitu nyaman dalam memerankan dua karakter ikonik tersebut. Meskipun dengan karakterisasi peran yang cenderung datar, Benedict Cumberbatch mampu hadir mencuri perhatian dalam setiap kehadirannya di dalam jalan cerita. Mungkin jika Star Trek Into Darkness mampu memberikan penggalian yang lebih dalam lagi terhadap karakter John Harrison, maka penampilan Cumberbatch akan terasa lebih kuat keberadaannya. Selain karakter Captain Kirk dan Commander Spock, nyaris tidak ada karakter yang tampil kuat di sepanjang presentasi penceritaan Star Trek Into Darkness. Lihat bagaimana karakter Nyota Uhura (Zoe Saldana) yang kini hanya berfungsi sebagai karakter “sang kekasih” di dalam jalan cerita. Begitu juga dengan beberapa karakter-karakter lain seperti Dr. Leonard McCoy (Karl Urban), Pavel Chekov (Anton Yelchin), Hikatu Sulu (John Cho) dan Montgomery Scott (Simon Pegg) yang terkesan hadir hanya sebagai perangkat jalan cerita tanpa pernah hadir dalam porsi yang benar-benar utuh. Bahkan karakter Dr. Carol Marcus yang diperankan oleh Alice Eve mungkin hanya dihadirkan sebagai aksesori untuk memperindah tampilan visual cerita belaka. Secara sederhana, dalam urusan karakterisasi, Star Trek Into Darkness gagal untuk mengikuti jejak pendahulunya – dalam hal membuat setiap penontonnya mampu merasa tertarik dengan setiap karakter yang hadir di dalam jalan cerita, peduli terhadap mereka dan akhirnya menjalin ikatan emosional untuk terus mengikuti kisahnya. Harus diakui, J. J. Abrams mendapatkan sebuah pencapaian yang luar biasa melalui Star Trek. Tidak hanya mampu meyakinkan para penggemar lama franchise ini, namun dengan jalan cerita yang begitu cerdas, penuh dengan sentuhan komedi yang kuat serta deretan karakter yang hangat, versi reboot dari Star Trek mampu menjangkau jutaan penggemar baru. Sayangnya, Star Trek Into Darkness kurang begitu mampu untuk mencapai tingkatan kecerdasan yang diraih oleh pendahulunya. Tidak buruk, namun seri kedua ini sepertinya terlalu berfokus untuk menghadirkan sisi hiburan daripada berusaha untuk tampil brilian sekaligus mengesankan dalam sajian penceritaannya dengan lebih mengutamakan tampilan visual pada deretan adegan aksinya. Gagal untuk tampil istimewa.
Download
Lagu Lainnya...
Anda Disini > Home > > Star Trek Into Darkness [2013]