Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.
Apakah dunia benar-benar membutuhkan sebuah reboot dari kisah Spider-Man ketika franchise awal film tersebut masih berusia lima tahun? Memang, harus diakui bahwa Spider-Man 3 (2007) adalah sebuah kekacauan dari segi kualitas. Namun – tidak seperti Batman & Robin (1997) yang benar-benar hancur baik dari segi kualitas maupun dari pendapatan komersial sehingga mampu menjustifikasi kehadiran Christopher Nolan dengan Batman Begins (2005) beberapa tahun kemudian – Spider-Man 3 masih mampu meraih pendapatan komersial sebesar lebih dari US$800 juta dari peredarannya di seluruh dunia. Jika Columbia Pictures ingin mendapatkan sebuah penyegaran dari franchise-nya – dan jika Sam Raimi, Tobey Maguire dan Kirsten Dunst tidak lagi berminat untuk melanjutkan peran mereka – bukankah lebih baik (dan masuk akal) jika kisah Spider-Man dilanjutkan namun dengan melibatkan nama-nama yang berbeda?
Anyway, Columbia Pictures mengumumkan di tahun 2010 bahwa pihaknya akan melakukan reboot terhadap franchise Spider-Man dengan menempatkan Marc Webb ((500) Days of Summer, 2009) di kursi sutradara, Andrew Garfield sebagai pemeran Peter Parker/Spider-Man dan Emma Stone sebagai pemeran kekasih hati Peter Parker/Spider-Man selain Mary Jane Watson, Gwen Stacy. Mengadaptasi kisah awal seri komik The Amazing Spider-Man karya Stan Lee dan Steve Ditko, The Amazing Spider-Man juga akan lebih memperdalam pembahasan mengenai sisi personal dari karakter Peter Parker melalui naskah cerita yang ditulis oleh James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves. Hasilnya? The Amazing Spider-Man sayangnya gagal memberikan alasan kuat mengapa Columbia Pictures harus mengulang kisah sang pahlawan kembali dari awal.
Jalan cerita The Amazing Spider-Man sendiri masih mengisahkan mengenai bagaimana Peter Parker dapat menjadi seorang Spider-Man. Kisah yang sama seperti yang dahulu digambarkan dalam Spider-Man (2002) namun dengan beberapa pembaharuan di berbagai sudut ceritanya. Peter Parker (Andrew Garfield) adalah sesosok pemuda penyendiri yang semenjak ditinggal oleh ayah dan ibunya, Richard dan Mary Parker (Campbell Scott dan Embeth Davidtz), hidup bersama paman dan bibinya, Ben dan Mary Parker (Martin Sheen dan Sally Field). Kehidupan sosial Peter di sekolah sendiri tidak banyak berubah. Ia hanya menghabiskan kebanyakan waktunya dengan kamera yang ia pegang memotret banyak obyek di sekitarnya, termasuk memotret Gwen Stacy (Emma Stone), gadis yang telah ia sukai selama ini.
Rasa penasarannya tentang apa yang sebenarnya terjadi pada kedua orangtuanya kembali bangkit ketika ia menemukan sebuah tas milik ayahnya. Di dalam tas tersebut, Peter menemukan berbagai makalah milik ayahnya serta nama Dr Curt Connors (Rhys Ifans), seorang peneliti yang bekerja di Oscorp. Rasa penasaran itulah yang kemudian membawa Peter menyelinap ke dalam Oscorp guna bertemu dan bertanya langsung dengan Dr Curt Connors. Sialnya, ketika masuk ke sebuah ruang penelitian, Peter mendapatkan gigitan dari seekor laba-laba yang telah mengalami modifikasi genetis. Gigitan itu kemudian merubah Peter menjadi sosok yang lebih peka terhadap lingkungannya sekaligus dengan kekuatan fisik yang jauh lebih besar.
Harus diakui, pada separuh bagian penceritaan pertamanya, The Amazing Spider-Man mampu berjalan dengan begitu sempurna. Andrew Garfield mampu menghantarkan karakter Peter Parker/Spider-Man yang lebih gelap dan emosional dari karakter yang sama pada trilogi Spider-Man (2002 – 2007) karya Sam Raimi. Hubungan romansa yang terjalin antara karakter Peter Parker/Spider-Man dengan Gwen Stacy yang diperankan oleh Emma Stone juga mampu dieksekusi dengan begitu meyakinkan. Pendekatan kepada sisi personal Peter Parker/Spider-Man yang memang diinginkan Columbia Pictures untuk hadir dominan pada The Amazing Spider-Man berhasil tampil sempurna dibawah arahan Marc Webb. Kisah mengenai masa lalu karakter Peter Parker, hubungannya dengan paman dan bibinya serta bagaimana cara ia berinteraksi dengan sekitarnya membentuk sebuah jalinan drama dengan nada penceritaan yang lebih serius sekaligus menjadi poin pembeda tertinggi dari The Amazing Spider-Man dari trilogi manusia laba-laba ini sebelumnya.
Sayangnya, ketika The Amazing Spider-Man menginjak paruh keduanya, dengan memasukkan keterlibatan satu karakter antagonis serta memulai deretan adegan aksinya, The Amazing Spider-Man terlihat seperti tak lebih sebagai pengulangan berbagai adegan aksi yang sebelumnya telah ditampilkan Sam Raimi dalam Spider-Mannamun dalam tampilan yang lebih kurang mengesankan. Seluruh kesegaran ide dan pendekatan yang muncul semenjak adegan awal The Amazing Spider-Man perlahan mulai luntur. Yang paling terlihat melelahkan tentu saja bagaimana The Amazing Spider-Man merepresentasikan karakter antagonisnya, yang jelas merupakan pengulangan bentuk dari Norman Osborne/Green Goblin dengan kostum yang berbeda.
Karakter Dr Curt Connors/The Lizard sendiri memang adalah sesosok karakter antagonis yang diadaptasi dari versi komik The Amazing Spider-Man. Pun begitu, tetap saja, bagaimana cara The Amazing Spider-Man mengelola plot mengenai perlawanan karakter Spider-Man terhadap lawannya terlihat seperti sebuah formula lama yang kembali diulang: mulai dari motivasi sang karakter antagonis yang melenceng dari niat baiknya, pembuatan antidot untuk melawan formula kimia yang salah, hubungan Peter Parker dengan ayah Gwen Stacy, janji yang ia buat hingga perubahan hati sang karakter antagonis di akhir cerita. Jika dibandingkan dengan plot pembangun cerita yang disusun semenjak awal, plot aksi dalam The Amazing Spider-Man seperti menunjukkan bahwa James Vanderbilt, Alvin Sargent dan Steve Kloves tidak tahu cara mengembangkan plot drama yang telah mereka susun dengan baik menjadi sebuah plot aksi yang sama berkualitasnya sehingga mereka harus meminjam banyak formula klise film-film superhero untuk menyelesaikannya.
Departemen akting merupakan salah satu bagian terkuat dari The Amazing Spider-Man. Pemilihan Andrew Garfield dan Emma Stone sebagai dua karakter utama film ini benar-benar memberikan sebuah hasil yang memuaskan. Jika Tobey Maguire mampu menghadirkan sosok Pater Parker/Spider-Man yang berjiwa besar, maka Garfield mampu memberikan penampilan Peter Parker/Spider-Man sebagai sosok yang cerdas. Chemistry yang ia jalin bersama Stone juga menciptakan sebuah hubungan yang terlihat begitu meyakinkan. Karakter Gwen Stacy sendiri sepertinya memang didesain untuk disesuaikan dengan karakter Stone. Anda masih dapat merasakan sisi personal Stone yang ia tampilkan dalam Easy A (2010) dan The Help (2011) namun tetap mampu memunculkan karakter Gwen Stacy yang menarik.
Selain Garfield dan Stone, The Amazing Spider-Man juga menghadirkan banyak talenta akting kuat lainnya. Nama-nama seperti Rhys Ifans, Martin Sheen, Sally Field bahkan Irrfan Khan dan Chris Zylka yang karakternya terbatas juga mampu hadir dengan kapasitas akting yang meyakinkan. Dari sisi teknis, The Amazing Spider-Man hadir tanpa masalah. Pendekatan visual yang memanfaatkan teknologi 3D mampu dihadirkan secara maksimal pada momen-momen krusial film. James Horner juga berhasil memberikan komposisi musik yang kuat, menegangkan dan sensitif di berbagai adegan The Amazing Spider-Man. Bagian teknis benar-benar hadir tanpa hambatan.
The Amazing Spider-Man berhasil tampil begitu memikat pada paruh penceritaan awalnya. Keputusan untuk menghadirkan sisi personal seorang Peter Parker/Spider-Man mampu dieksekusi dengan baik oleh Marc Webb dengan dukungan kuat penampilan Andrew Garfield, Emma Stone dan barisan pengisi departemen akting film ini. Sayangnya, tim penulis The Amazing Spider-Man kemudian terlihat kebingungan untuk mengembangkan keberhasilan penulisan sisi drama dari film ini. Hasilnya, paruh kedua penceritaan film ini diisi kebanyakan dengan adegan yang mau tidak mau akan membuat penontonnya membandingkan The Amazing Spider-Man dengan seri awal trilogi Spider-Man karya Sam Raimi – yang harus diakui tampil lebih superior di departemen aksinya. The Amazing Spider-Man tidak memberikan sebuah sentuhan baru dalam pengisahan sebuah film superhero – maupun esensi mengapa franchise Spider-Man harus mengalami proses reboot secepat ini. Pun begitu, The Amazing Spider-Man jelas masih merupakan sebuah produksi yang jauh dari kesan mengecewakan.